Thursday, April 19, 2007

KEMELUT KEPIMPINAN SELEPAS RASUL(1)

Pembahasan Pertama : Bagaimana Timbulnya Syi'ahisme?

Secara keseluruhan dan global dapat kita pastikan bahwa Tasyayyu' adalah, "Hasil produksi pengelola motor dakwah Nabi" sejak beliau memulai karir dan menjalankan tugas sucinya sebagai Duta Luar Biasa Allah SWT. Syi'ahisme merupakan formula yang berkualitas tinggi dengan khasiat yang tak dapat diragukan lagi dan diramu seteliti mungkin sebagai konsep istimewa yang dipaparkan guna menjaga kesinambungan dan kelangsungan program kerja penyebaran dakwah Rasul dan guna mewujudkan cita-cita luhur beliau untuk menciptakan masyarakat yang sadar sepenuhnya akan pditik, sosial, dan budaya serta maju seiring dengan proses naturalis evolusi dan perkembangan yang lumrah dan normal. Hal ini bisa kita simpulkan secara rasionil bila memantau dengan seksama dan jeli ke arah dakwah yang merupakan proyek besar yang dicanangkan oleh Rasul dalam lingkar batas situasi dan kondisi yang ada pada saat itu. Langkah dan kebijaksanaan pertama yang diambil Nabi dalam upaya menjaga kelancaran dan memobilisasikan masyarakat ke arah dakwah ialah mengendalikan tali pemerintahan dan kekuasaan den­gan tangan beliau sendiri dan secara langsung menanganinya dengan melibatkan diri secara total dalam aksi dan operasi politis yang beliau galakkan sendiri demi kesuksesan proyek. Langkah kedua ialah berusaha sekuat mungkin dengan persiapan yang matang agar program ini tidak mandek dengan melancarkan aksi perombakan dan pembenahan total dalam tubuh masyarakat; moral, mental, pola tindak, cara berfikir, watak dan seluruh aspek yang bertalian erat dengan mereka.

Patut diingat bahwa operasi perombakan dan pembersihan total serta menyeluruh itu tentunya memerlukan jangka waktu yang tidak sebentar serta menuntut adanya kekuatan yang dapat diandalkan untuk mengawal perjalanan dakwah dalam mencapai kesuksesannya yang gemilang dan besar sekaligus untuk menepis dan menyingkirkan segala macam hambatan dan gejala-gejala kelesuan yang bisa mengganggu kelancaran proyek penyebaran. Mengingat perbedaan antara Islam dan kultur jahiliyah sangat jauh dan bersifat fundamental, maka tugas berat beliau ialah merintis dari awal mula menciptakan manusia muslim seutuhnya dari manusia yang sama sekali asing tentang nilai kesopanan dan telah menjadi bagian dari kepandiran jahiliyah yang luar biasa, membenahi manusia jahilis dengan membersihkannya dari segala jenis noda dan pengaruh kotor serta membebaskannya dari jeratan dan belenggu moral kultur jahiliyah.

Dalam memulai langkah baru ini, Rasul telah mengambil sikap yang mencengangkan dengan mempelopori aksi Sapu Bersih secara total terhadap dasar-dasar jahiliyah dalam tempo waktu yang relatif singkat sekaligus membuahkan hasil-hasil yang gemilang dan mengagumkan. Semestinya operasi perombakan itu harus dilanjutkan dan tidak berhenti begitu diketahui bahwa Rasul meninggal dunia. Perlu diketahui bahwa beliau seringkali memberitahukan tentang saat meninggalnya yang makin dekat. Itu sering dikatakannya, baik secara terang-terangan maupun secara implisit sebagaimana dalam peristiwa Hajjatul Wada’ yang mana itu memberi kesan kepada kita bahwa beliau tidak wafat secara tiba-tiba. Jadi, berarti beliau mempunyai kesempatan luang untuk memikirkan langkah-langkah berikut yang semestinya diambil dengan mempersiapkan rancangan dan konsep yang sempurna dan jelas demi terwujudnya semboyan proyek dakwah yang telah dirintisnya, apalagi - selaku muslimin - kita yakin bahwa adalah tugas dan kebijaksanaan Allah melalul sifat belas kasih dan kelembutan-Nya untuk melestarikan dakwah hingga menggapai kesuksesan yang diincarnya melalui wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAWW. Dengan demikian kita sadari bahwa hanya ada tiga macam alternatif jalan yang mungkin salah satunya telah ditempuh Rasul demi masa depan dan keberhasilan program pengembangan dakwah beliau.

Alaternatif Pertama : Sikap Yang Mungkin Diambil Rasul

Bersikap pasif terhadap masa depan dan kelanjutan misi dakwah. Cukup hanya menyelesaikan tugas pemiliharaan dakwah selama masa hidupnya. Adapun kelanjutannya, maka nasibnya tergantung pada kondisi mendatang dan kemungkinan serta kejutan yang timbul kelak.

Alternatif dan interpretasi ini tidak layak bagi Rasul. Mustahil beliau tidak peduli akan kelangsungan dakwah selanjutnya, sebab alternatif dan anggapan "Rasul bersikap masa bodoh" ini hanya berdasarkan dan kemungkinan yang tidak rasionil dan tidak realistis.

Dasar Pertama:

Bahwa kemungkinan sikap dingin yang diambil dan diperlihatkan Nabi tidak akan mengganggu kelancaran dakwah setelah wafatnya, sebaliknya masyarakat kelak dengan sendiri berandalkan kreatifitas mereka akan sadar pada tanggung jawab mengembannya serta mampu bertindak selaras dengan kebijaksanaan dan langkah yang pernah diambil oleh Nabi dan seiring dengan apa yang telah digariskannya.

Dasar kemungkinan ini kurang realistis, bahkan kebanyakan segala sesuatu selalu memantulkan kebalikannya, mengingat dakwah yang telah dirintis. Itu merupakan serangkaian upaya perombakan total secara tuntas dan mengakar. Operasi tersebut digalakkan dengan dasar tujuan dan cita-cita membina masyarakat baru dan segar sekaligus mencabut segala macam akar yang lama sekali bercokol dan melepaskan segala macam tali kotor jahiliyah yang selama ini menjerat mereka sejak berabad-abad dan menjadi sistem sosial mereka satu-satunya dan menjadi cermin bagi pola hidup mereka sehari-hari. Operasi penyapuan sisa-sisa kanker jahiliah ini akan terbentur den­gan kemungkinan-kemungkinan bahaya yang akan timbul sebagai akibat negatif dari kevakuman dan ketiadaan seorang pemimpin atau akibat psikis dari kematian seorang pemimpin (Nabi) tanpa meninggalkan pesan atau mewariskan konsep bagi program pemerataan dakwah setelah sebagai efek dari pada tindakan spontan dan upaya penyelamatan sekonyong-konyong dalam rangka menanggulangi dan mengisi lapangan yang hampa dari seorang pemimpin. Secara alami kehampaan itu menuntut adanya tindakan penyelamatan darurat secara kilat guna mengisinya dengan tindakan dan sikap yang cepat dan spontan juga. Dengan kata lain keadaan tidak peduli akan kehampaan dan kesulitan. Keadaan hanya meminta pemimpin dan pengisi lubang. Hal ini akan lebih jelas lagi kalau kita memantau lebih dekat dan seksama, masyarakat pada saat itu sedang dilanda kegelisahan dan tidak tahu apa yang semestinya mereka perbuat, mengalami depresi yang amat kuat karena ditinggal wafat seorang pemimpin yang kharismatik dan sangat berpengaruh.

Bila kita beranggapan bahwa Nabi telah meninggalkan masyarakat dan arenanya tanpa terlebih dahulu mempersiapkan rancangan dan jadwal kerja yang matang serta tajuk demi menyongsong masa depan yang memprihatinkan, maka sebagai dampaknya, akan timbul tindakan dari pihak massa secara gegabah dan tidak sistematis yang "kebetulan" merasa bertanggung jawab dan berkepentingan menangani masalah untuk pertama kali. Hal mana, masalah-masalah tersebut sangat tabu dan sulit ditangani bila tanpa bimbingan pemimpin sebelumnya, apalagi bila ditangani oleh orang yang bukan profesional, sedangkan rakyat pada saat itu tidak mengerti dan tidak mempunyai gambaran yang cukup menjamin kemampuan mereka tentang hal itu. Namun sisi lain, kevakuman itu menuntut tindakan secepatnya dan segera dilaksanakan tepat pada saat masyarakat sedang dicekam duka dan dirundung kegelisahan karena Sang Pemimpin Besar pergi menemui Kekasih Sejati Allah SWT tanpa permisi.

Adalah logis, kebingungan ini sedikit banyak menghambat dan mengganggu konsentrasi dan menimbulkan stress dan kepincangan dalam tindakan, sampai-sampai salah seorang sahabat senior berteriak-teriak histeris

"Rasulullah belum mati! Rasulullah tidak akan mati! Siapa yang mengatakan mati!".

Pertanda bahwa kebingungan telah melanda seluruh lapisan masyarakat. Sikap lepas kontrol sahabat kawakan ini cermin dari pada opini masa yang ketegangannya belum reda karena ditinggal mati "Pengasuh", "Ayah", "Pemimpin" dan kebanggaan mereka Muhammad SAWW dan karena tidak ada pengganti yang sesuai.

Di samping itu semua, terdapat beberapa bahaya yang mengancam dan timbul akibat dari krisis integritas dan intelektualitas serta kenaifan tentang seluk-beluk serta perjalanan dakwah selanjutnya, yang mana pada saat genting dan mencekam Itu dibutuhkan seorang pemimpin prima dan arif seperti Nabi. Bahaya lain yang akan timbul ialah akibat buruk dari tindakan mendadak dan gerak reflek masyarakat dalam menanganinya, yang mana itu pasti tidak senada dan sealur dengan cara yang ditempuh Rasul sekallgus bertentangan dengan tuntutan misi serta konsekuensinya sebagai missi yang ditegakkan guna melenyapkan pertentangan spiritual antara masyarakat yang kala itu terpecah menjadi puak-puak dan blok seperti antara kelompok Muhajirin dan Anshar (masyarakat pendatang dan penduduk asli), antara suku besar Quraisy dengan suku-suku lain begitu juga antara penduduk kota Makkah dan penduduk kota Madinah.

Bahaya-bahaya tersebut akan lebih menakutkan bila kita sisipkan faktor oknum-oknum (Kaum Munafikin) apalagi setelah kita ketahui bahwa jumlah mereka bertambah banyak setelah kota Makkah ditaklukkan, yang mana penaklukan itu membuat orang-orang Quraisy ketakutan dan mengucapkan secara terpaksa dua kalimat Syahadat atas dasar kepuasaan hati dan kemantapan iman.

Bahaya-bahaya ini tidak hanya menimpa masyarakat dan mengancam eksistensi Islam saja, tapi ini semua merupakan refleksi alami dari tidak-adanya seorang yang dapat menggantikan pemimpin agungnya yang wafat. Dan masyarakat pada saat itu tidak hanya kehilangan seorang pemimpin, tapi kehilangan pengasuh berkharisma tinggi yang bergelar Khatamul Anbiya pelengkap semua ajaran para Nabi.

Abu Bakar dengan alasan hendak menyelamatkan Umat telah mengambil alih tampuk kekuasaan dengan gesit. Tindakan positif ini ia lakukan - katanya - demi masa depan dakwah dan kesinambungannya.

Kekhawatiran dan kecemasan itu juga terlihat ketika beberapa orang berbondong-bondong menuju Umar bin Khatab sambil berteriak-teriak:

"Sudikah Anda memimpin? Masyarakat sangat cemas akan kekosongan seorang pemimpin padahal saat itu situasi kondisi kembali stabil sejak upacara pelantikan dan penobatan Abu Bakar sebagai Khalifah."(Tarikh Ath-Thabari juz 5 hal. 26).

Kekhawatiran demikian juga melanda hati Umar. Hal ini terlihat dalam penunjukkannya kepada enam orang dari rekan-rekannya sebagai kandidat-kandidat terbatas jabatan Khalifah. Ini pertanda bahwa betapa besar kekhawatiran sahabat senior ini melihat dan membayangkan bahaya-bahaya yang timbul akibat kekosongan seorang pemimpin dan tidak-adanya pengganti berikutnya.

Umar sadar akan bahaya-bahaya dan gawatnya situasi jlka tidak ada seorang yang mengendatikan segera di nari sidang darurat Saqifah dan sadar akan efek negatif dari cara pembai'atan dan pemilihan Abu Bakar yang dilangsungkan secara mendadak itu. Kekecewaan tersebut tercermin dalam kesaksiannya pada detik terakhir dari sisa hidupnya. Kesaksian itu demikian bunyinya:

"Pembai'atan Abu Bakar sebenarnya adalah serpihan api (penyelewengan), hanya saja Allah telah menjaga muslimin dari pengaruh buruk pembai'atan tersebut!" (Tarikh Ath-Thabari juz 3 hal. 42).

Abu Bakar sendiri pernah mengemukakan penyesalannya atas tindakannya yang tergesa-gesa menerima tawaran untuk memimpin.la mengutarakan alasan penerimaan hanya karena ingin menyelamatkan keadaan yang kritis dan karena ia dapat membayangkan betapa bahayanya jika tidak ada seorang yang menggantikan Nabi. Itu tergambar dalam keterangan yang diberikannya: Rasulullah meninggal pada saat masyarakat masih baru menanggalkan busana pengaruh jahiliyah mereka dan memasuki hidup baru. Aku khawatir masyarakat akan kacau balau dan sesat, sedangkan sahabat-sahabatku tak peduli yang sebaliknya menggantungkan tanggung jawab ini kepadaku saja. (Syarah Nahjul Balaghah Juz 6 hal.42).

Jadi, apabila hal-hal diatas semua benar dan terbukti, maka tak ayal lagi bahwa Rasulullah akan lebih arif memikirkan dan merasakan efek dan bahaya yang akan timbul akibat dari sikap pasif tersebut. Beliau tentu lebih mengerti tuntutan dan langkah apa yang harus diambil demi upaya pembenahan dan operasi perombakan yang dirintisnya sendiri terhadap masyarakat Islam yang baru kemarin meninggalkan jahiliyah yang sejak berabad-abad menjadi sistem hidup mereka sebagaimana diutarakan oleh Khalifah Abu Bakar bin Abu Quhafah ra.

Dasar Kedua:

Bahwa Rasul mengambil sikap pasif demikian atas dasar bahwa tugas utama beliau adalah mengawal Dakwah Islamiah dan berhenti pada masa wafatnya. Maka sekali pun beliau menyadari akan efek negatif dari sikap pasif itu tapi beliau tidak merasa bertanggung jawab memikirkan masa depan dan prospek misi yang diembannya. Yang penting baginya adalah menjaga dakwah pada masa hidupnya dan telah dapat memetik keuntungan bagi pribadinya.

Dasar kemungkinan dan interpretasi sikap pasif dengan keterangan demikian tidak relevan dan tidak sesuai dengan kriteria sebagai pribadi pemimpin ideologi dan bijaksana. Apalagi kita memandangnya sebagai Nabi termulia yang mempunyai hubungan super natural dan halus dengan Allah SWT secara langsung dalam mengatasi segala urusan yang berkaitan dengan misi Risalah selaku pemimpin unggul yang merupakan manifestasi sempurna bagi seluruh kriteria dan wadah yang berisikan segala macam sifat dan syarat-syarat seorang pemimpin yang handal dalam ketulusan, loyalitas, kesetiaan, pengorbanannya yang tak terhingga dalam mensukseskan dakwah. Terbukti dalam buku-buku sejarah bahwa ketika Rasulullah hampir menghembuskan nafasnya yang terakhir di atas ranjang dan pada saat yang paling kritis dan pada saat rasa sakitnya mencapai klimaks beliau masih merasa bertanggung jawab untuk menyiapkan satuan perang yang memang sejak sebelumnya telah direncanakannya untuk segera diberangkatkan di bawah pimpinan komandan Usamah bin Zaid yang telah ditunjuknya meninggalkan kota Madinah menuju medan tempur. Berulang-ulang beliau berteriak sambil menyeru dengan nada jengkel dan marah:

Siapkan pasukan Usamah! Satuan tempur Usamah harus segera bertolak! (Tarikh AI-Kamil karya Ibnu Atsir).

Betapa besar perhatian Nabi pada masalah-masalah militer sedangkan pada saat itu, agar segera bertemu den­gan Kekasihnya dan meninggalkan masyarakat yang telah dibinanya untuk selamanya. Beliau tahu bahwa beberapa saat lagi beliau akan meninggal dunia. Namun detik-detik terakhir dari sisa hidup itu tidak menghalangi atau mengurungkan tekad dan tanggung-jawabnya meskipun beliau tahu hasll dan akhir dari pertempuran yang diserukannya itu menang atau kalah. Jlka demikian perhatian beliau pada masalah militer, bukankah suatu anggapan yang tidak relevan dan nihil sekali bila dikatakan bahwa Nabi Muham­mad SAWW tidak memikirkan masa depan dakwah secara keseluruhan, yang mana urusan militer merupakan salah satu dari aspek-aspek dan penunjangnya. Memalukan sekali bila kita beranggapan bahwa beliau tidak memperhitungkan dan mengukur bahaya-bahaya yang kemungkinan dapat menggangu kelangsungan dakwah.

Sebenarnya apa yang dilakukan oleh Rasul pada detik-detik yang paling mendebarkan dl akhir hidupnya sudah cukup akurat untuk memberikan bukti konkrit yang menolak mentah-mentah alternatif jalan pertama sekaligus merupakan gambaran yang cukup jelas bahwa Rasul tidak sepicik dan senaif apa yang mereka bayangkan dan perkirakan bahwa Nabi tidak peduli akan prospek dan nasib dakwah. Di samping itu terdapat sebuah teks hadis yang disepakati oleh kalangan Syi'ah dan Ahlussunnah, demikian terjemahan riwayat itu: Ketika Rasulullah hampir menghem­buskan nafasnya yang terakhir dan segera menemui Kekasihnya Yang Maha Kuasa, sedang pada saat itu ada beberapa orang yang berada dalam rumah beliau termasuk sahabat Umar bin Khatab, beliau meminta dengan suara parau tersendat-sendat sambil menahan rasa sakit dan nyeri:

"Berikan padaku selembar kertas dan tintal. Aku tuliskan untuk kalian semua sebuah pusaka tulisan yang mana jika kalian mematuhi isinya, maka pasti kalian tidak sesat setelah aku tinggal pergi." (Musnad Ahmad bin Hambal juz 1 hal. 300, Shahih Muslim An-Nisaburi juz 2 Bab AI-Washaya dan Shahih Bukhari juz 1 Kitab An-Nikah).

Usaha yang dilakukan Rasulullah ini dengan jelas menunjukkan bahwa beliau memikirkan dan prihatin akan bahaya-bahaya yang mengancam masa depan dakwah serta menyadari sepenuhnya akan betapa pentingnya menggariskan suatu konsep dan tajuk rencana kerja guna menyelamatkan umat dari penyimpangan sekaligus guna melindungi proyek tersebut dari kemandekan dan kegagalan. Bertolak dari sini kita dapat berkesimpulan bahwa tidak mungkin Rasul bersikap pasif dan dingin terhadap prospek dakwah.

KHILAFAH DAN PELANTIKANNYA


"Khilafah adalah memusatkan pikiran kepada soal pimpinan kenegaraan, yang langsung mengenai persoalan politik. Khilafah mengingatkan kepada bentuk Negara Islam. Negara Islam yang dipimpin oleh seorang Kepala Negara yang berjabatan khalifah". "Khilafah adalah suatu sistim pemerintahan menurut ajaran agama Islam. Khilafah dapat diperjuangkan dan didirikan oleh kaum Muslimin untuk daerah dan tanah air mereka masing-masing, dan dapat pula dibangunkan untuk seluruh kaum Muslimin didunia". Pernyataan almarhum Haji Zainal Abidin Ahmad dalam bukunya Membentuk Negara Islam, 1955.

"Khilafah bukanlah monarkhi dan bukan pula sultan. Khilafah ialah pimpinan umum kenegaraan untuk rakyat buat membawa mereka kepada agama yang suci, menekan golongan yang kuat jangan sampai berbuat sewenang-wenang terhadap golongan yang lemah didalam tugas kewajibannya dalam negara, sedang terhadap keluar dia melindungi agama Islam dan menolak serangan dari luar, dan dia tidaklah dapat berdiri melainkan dengan kemauan rakyat". Kesimpulan mengenai khilafah yang ditulis oleh Amir Sjakib Arselan dalam bukunya Hadhirul 'Alamil Islami.

Khilafah inilah yang akan didirikan kembali, setelah hilang sehabis masa Khulafaur Rasyidin ( Khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar bin Khattab, Khalifah Usman bin Affan, dan Khalifah Ali bin Abi Thalib) (11 H-40 H, 632 M-661 M). Karena Khilafah inilah yang diwajibkan untuk ditegakkan di muka bumi ini. "...Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah dimuka bumi..." (Al Baqarah, 30). "Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman diantara kamu dan mengerjakan amal-amal saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka khalifah dibumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka khalifah, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar ketakutan menjadi aman sentausa.Mereka tetap menyembahKu dengan tidak mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barang siapa yang kafir setelah itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik" (An Nuur, 55).

Adapun dasar-dasar pokok yang asasi dari Khilafah adalah "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila menetapkan hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul dan Ulil Amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnah Nabi), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya" (An Nisaa, 58-59). Disini ada empat dasar yang asasi untuk membentuk Khilafah, pertama amanah, kedua keadilan, ketiga Ketuhanan dan keempat kedaulatan rakyat (ulil amri).

Khilafah Islam atau Negara Islam, setelah Rasulullah saw wafat, adalah Khilafah Islam atau Negara Islam yang memiliki empat dasar tersebut diatas dan telah diteruskan dan dikembangkan oleh Khulafaur Rasyidin ( Khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar bin Khattab, Khalifah Usman bin Affan, Khalifah Ali bin Abi Thalib)(11 H-40 H, 632 M-661 M).

Sedangkan dasar negara dari Khilafah Islam atau Negara Islam ini adalah akidah Islam. Dimana segala sesuatu yang menyangkut masalah struktur, sistim, dan pertanggungjawaban masalah kenegaraan harus bersumber dari aqidah Islam. Juga Konstitusi dan undang undang harus bersumberkan dari akidah Islam ini.

Sekarang kita ambil contoh bagaimana pemilihan dan pengangkatan khalifah dimasa Khulafaur Rasyidin.Pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah pertama. Dimana pemilihan khalifah pertama ini dilakukan di pendopo kaum anshar Bani Sa'idah, yang dipimpin oleh Sa'ad bin Ubbadah kepala suku Khazradj. Walaupun Abu Bakar sendiri pada mulanya menolak, bahkan beliau mengajukan dua calon khalifah yaitu Umar bin Khattab dan Abu Ubaidah Amir bin Djarrah. Namun Umar dan Abu Ubaidah menolaknya, dengan mengatakan "tidak mungkin jadi, selama tuan (Abu Bakar) masih berada di tengah-tengah kami". Kemudian mereka sepakat untuk mengangkat Abu Bakar sebagai khalifah, lalu Umar bin Khattab maju kedepan langsung memberikan bai'atnya atas pengangkatan Abu Bakar. Besok harinya dipanggillah seluruh rakyat ke Masjid Nabi untuk melakukan bai'at atas pemilihan dan pelantikan Abu Bakar sebagai khalifah. Yang tidak hadir dalam bai'at itu ada empat tokoh utama, yaitu Ali bin Abi Thalib, Abbas bin Abdul Mutthalib, Fatimah putri Nabi dan Sa'ad bin Ubbadah. Beberapa hari Abu Bakar berikhitiar untuk memperoleh bai'atnya dari mereka. Disini dapat dilihat dengan jelas bahwa pemilihan khalifah pertama adalah dipilih oleh para utusan (ulil amri) walaupun tidak lengkap dan langsung semua rakyat melakukan bai'atnya.

Pemilihan khalifah kedua yaitu Umar bin Khatthab dilakukan sedikit lebih teratur. Sebelum Khalifah Abu Bakar meninggal, dilakukan terlebih dahulu perundingan dengan beberapa anggota ulil amri, diantaranya Abdur Rahman bin Auf tentang Kepala Negara yang akan menggantikannya. Dalam sidang ulil amri ini Abu Bakar mengajukan calon khalifah yaitu Umar bin Khatthab, kemudian sidang ulil amri menyetujui akan pencalonan Umar bin Khatthab untuk menjadi khalifah. Pada waktu itu juga Abu Bakar menandatangi suatu surat bai'at atas penganggkatan khalifah kedua ini. Disinipun kita lihat Khalifah Abu Bakar sebelum meninggal merundingkan dahulu dengan para ulil amri untuk membicarakan siapa yang akan menjadi khalifah sepeninggalnya. Bukan melakukannya dengan paksaan, mengangkat begitu saja Umar bin Khatthab menjadi khalifah.

Pemilihan khalifah ke tiga, Usman bin Affan, dilakukan lebih sempurna lagi. Dimana dicalonkan enam calon khalifah yaitu Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Zuber bin Awwam, Sa'ad bin Abi Waqqash, Thalhah bin Ubaidillah dan Abdur Rahman bin Auf. Keenam calon khalifah ini diajukan oleh Khalifah Umar bin Khatthab. Dari enam calon ini dua yang tinggal, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Kedua-duanya siap untuk menggantikan khalifah Ummar bin Khatthab. Namun dalam sidang ulil amri yang dipimpin oleh Abdur Rahman bin Auf, dipilih Usman bin Affan sebagai khalifah. Sedangkan Ali bin Abi Thalib yang tidak terpilih, dia menerima dengan perasaan dan jiwa yang besar dan melakukan bai'at atas pengangkatan Usman bin Affan sebagai khalifah ketiga.

Pemilihan khalifah keempat, Ali bin Abi Thalib, dalam pemilihan khalifah ini diajukan tiga calon yaitu, Ali bin Abi Thalib, Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam. Pemilihan khalifah ini diserahkan sepenuhnya kepada ulil amri, karena Khalifah Usman bin Affan tidak sempat mengajukan pencalonannya, dikarenakan telah dibunuhnya oleh para pemberontak. Disinipun Ali bin Abi Thalib tidak menerima pencalonannya, namun setelah kedua calon lainnya yang mengundurkan diri dan memilih Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah keempat, maka dipilihlah Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah.

Dengan cara pengangkatan khalifah-khalifah dimasa Khulafaur Rasyidin ini, boleh kita ambil sebagai contoh pemilihan umum dalam Khilafah Islam. Sedangkan pada masa dinasti-dinasti Umaiyah, Abbassiyah, Fathimiyah dan Usmaniyah tidak ada yang namanya pemilihan khalifah dan melibatkan ulil amri, karena pengangkatan khalifah langsung menurut keturunan. Misalnya, khalifah Mu'awiyah bin Abi Sufyan dari dinasti Umaiyah mengangkat putranya Jazid sebagai khalifah. Begitu seterusnya.

Jadi kesimpulannya adalah Negara Islam pertama dibawah Rasulullah dengan undang undang Madinahnya dan Khilafah Islam dimasa Khulafaur Rasyidin dengan sistim khilafahnya harus menjadi contoh dan pegangan bagi penguasa-penguasa "negara negara Islam" dan juga bagi kaum Muslimin yang bercita-cita mendirikan Khilafah Islam atau Negara Islam pada abad dua puluh ini *.*

Sayyidina Ali Bin Abi Talib(1)

Sayyidina Ali dilahirkan pada hari Jumaat 13 haribulan Rejab, 12 tahun sebelum Rasulullah SAW menerima wahyu pertamanya. Ibunya, Fatimah, telah melahirkan Sayyidina Ali di Kaabah. Ketika itu, Fatimah dan suaminya Abu Talib sedang melakukan tawaf di keliling Kaabah. Fatimah yang sarat mengandung, tiba-tiba terasa sakit hendak bersalin. Abu Talib menyangka, Fatimah hanya keletihan maka dia membawa Fatimah berehat di dalam Kaabah sebelum meneruskan tawafnya. Di waktu itulah lahirnya Sayyidina Ali yang sangat besar jasanya sebagai Sahabat dan menantu Rasulullah, juga Amirul Mukminin bagi umat Islam selepas kewafatan Rasulullah SAW. Kelahiran Sayyidina Ali hanya disaksikan oleh ayah dan ibunya sahaja.

Ketika umur Sayyidina Ali 6 tahun, Mekah sedang dilanda keadaan yang sukar. Orang-orang yang ramai anak, pasti terasa peritnya hendak memberi makan keluarganya. Di waktu itu Rasulullah SAW teringat jasa pak ciknya Abu Talib yang pernah menjaga baginda sewaktu kecil. Kini pak ciknya telah tua sedangkan anak-anaknya ramai. Maka sebagai membalas jasa pak ciknya itu, Rasulullah yang tika itu telah berkahwin dengan Siti Khadijah, telah mengambil Sayyidina Ali tinggal bersamanya.

Sejak itu Sayyidina Ali diasuh oleh baginda sendiri. Betapa besarnya kasih sayang yang dicurahkan oleh Rasulullah kepada Sayyidina Ali lantaran baginda sendiri telah kematian anak-anak lelakinya. Berada bersama keluarga Rasulullah SAW telah memberi kesan yang sangat besar kepada pertumbuhan roh Sayyidina Ali.

Beliau menyaksikan dan mengikuti perkembangan jiwa dan fikiran Rasulullah SAW. Rasulullah SAW sendiri yang menjadi penghubung antara Sayyidina Ali dan Allah SWT. Di samping perjuangannya di bidang akidah, ilmu dan pemikiran, Sayyidina Ali kwj juga terkenal sebagai seorang pemuda yang memiliki kesanggupan berkorban yang luar biasa besarnya. Ia mempunyai susunan jasmani yang sempurna dan tenaga yang sangat kuat. Sudah tentu, itu saja belum menjadi jaminan bagi seseorang untuk siap mempertaruhkan nyawanya membela kebenaran Allah dan Rasul-Nya.

Imannya yang teguh laksana gunung dan kesetiaannya serta kecintaanya yang penuh kepada Allah dan Rasul-Nya, itulah yang menjadi pendorong utama. Sayyidina Ali kwj tidak pernah menghitung-hitung risiko dalam perjuangan suci menegakkan Islam. Dengan jasmani yang tegap dan kuat, serta iman yang kukuh dan mantap, Sayyidina Ali kwj benar-benar memenuhi syarat-syarat fizikal dan rohaniah untuk menghadapi tahap-tahap perjuangan yang serba berat.

Di saat-saat Islam dan kaum muslimin berada dalam situasi yang kritis dan gawat, Sayyidina Ali kwj selalu tampil memainkan peranan penting. Selama hidup, beliau tidak pernah mengalami hidup selesa. Sejak muda remaja sampai akhir hayatnya, dia keluar masuk dari satu kesulitan kepada satu kesulitan lain. Dari satu pengorbanan kepada satu pengorbanan yang lain pula.

Namun demikian, beliau tidak pernah menyesali nasib, bahkan dengan semangat pengabdian yang tinggi kepada Allah dan Rasul-Nya, beliau sentiasa siap siaga menghadapi segala rintangan. Satu-satunya perkara yang menjadi keinginannya siang dan malam, hanyalah ingin memperoleh keredhaan Allah dan Rasul-Nya.

Kesenangan hidup duniawi baginya tidak penting dibandingkan dengan cinta dan redha dari Allah dan Rasul-Nya yang dijanjikan untuk hamba-Nya yang berani hidup di atas jalan kebenaran. Berkali-kali imannya yang teguh diuji oleh Rasulullah SAW. Setiap kali diuji, setiap kali itu juga Sayyidina Ali lulus dengan meraih markah yang amat tinggi.

Ujian pertama yang maha berat ialah yang terjadi pada ketika Rasulullah SAW menerima perintah Allah SWT supaya berhijrah ke Madinah. Seperti diketahui, di satu malam yang gelap-gelita, komplot kafir Quraisy mengepung kediaman Rasulullah SAW dengan tujuan hendak membunuh baginda, bilamana baginda meninggalkan rumah.

Dalam peristiwa ini, Sayyidina Ali kwj memainkan peranan besar. Belaiu diminta oleh Rasulullah SAW supaya tidur di atas katil baginda dan menutup tubuhnya dengan selimut baginda untuk mengaburi mata orang-orang Quraisy. Tanpa tawar-menawar, Sayyidina Ali kwj menyanggupinya. Ia menangis bukan mencemaskan nyawanya sendiri, tetapi kerana bimbangkan keselamatan Rasulullah SAW yang saat itu berkemas-kemas hendak berhijrah meninggalkan kampung halaman.

Melihat Sayyidina Ali menangis, maka Rasulullah bertanya, Mengapa engkau menangis?
Apakah engkau takut mati?
Sayyidina Ali r.a dengan tegas menjawab, Tidak, ya Rasulullah! Demi Allah yang mengutusmu membawa kebenaran, aku sangat khuatir terhadap dirimu. Apakah anda akan selamat, ya Rasulullah?
Ya, jawab Nabi Muhammad SAW dengan tidak ragu-ragu. Mendengar kata-kata yang pasti dari Rasulullah SAW., Sayyidina Ali kwj terus berkata, Baiklah, aku patuh dan kutaati perintahmu. Aku rela menebus keselamatan anda dengan nyawaku, ya Rasulullah!

Sayyidina Ali r.a segera menghampiri katil Rasulullah SAW kemudian menggunakan selimut baginda untuk menutupi tubuhnya. Ketika itu orang-orang kafir Quraisy sudah mula berdatangan di sekitar rumah Rasulullah SAW dan mengepungnya dari setiap penjuru.

Dengan perlindungan Allah SWT dan sambil membaca ayat 9 surah Yasin, baginda keluar tanpa diketahui oleh orang-orang yang sedang mengepung dan mengintip. Orang-orang Quraisy itu menyangka, bahawa orang yang sedang berbaring dan berselimut itu pasti Nabi Muhammad SAW. Mereka yang mengepung itu mewakili suku-suku kabilah Quraisy yang telah bersepakat hendak membunuh Nabi Muhammad SAW dengan pedang secara serentak. Dengan cara demikian, tidak mungkin Bani Hasyim dapat menuntut balas.

Sayyidina Ali kwjtahu apa kemungkinan yang akan menimpa dirinya yang tidur di katil Rasulullah SAW. Hal itu sama sekali tidak membuatnya sedih atau takut. Dengan kesabaran yang luar biasa beliau berserah diri kepada Allah SWT. Beliau yakin, bahawalah Dialah yang menentukan segala-galanya.

Menjelang subuh, Sayyidina Ali kwjbangun. Gerombolan Quraisy terus menyerbu masuk ke dalam rumah. Dengan suara membentak mereka bertanya, Mana Muhammad? Mana Muhammad?

Aku tak tahu di mana Muhammad berada! jawab Sayyidina Ali kwj dengan tenang.
Gerombolan Quraisy itu segera mencari-cari di seluruh rumah itu. Usaha mereka sia-sia belaka. Puak-puak kafir Quraisy itu benar-benar kecewa. Mana Muhammad? Mana Muhammad? mereka mengulangi pertanyaan.
Apakah kamu semua melantik aku menjadi penjaganya? ujar Sayyidina Ali kwj dengan nada memperolok-olok.
Bukankah kamu semua berniat mengeluarkannya dari negeri ini? Sekarang dia sudah keluar meninggalkan kamu semua!

Contohi Peribadi Saidina Ali

Kelahiran bayi pertama di bawah naungan Kaabah telah menggembirakan seluruh kaum arab Quraisy. Seorang insan agung yang menjadi pembela dan aset kepada bangsa, agama dan negaranya. Dialah Saidina Ali bin Abu Talib khalifah ar-rasyidin yang keempat. Di zaman beliaulah negara arab telah menjadi sebuah empayar yang cukup digeruni.

Namun kebangkitan kekuasaan dan pengaruh negara arab ini bukan semata-mata kerana mereka memiliki aset kekayaan hasil bumi atau keuntungan perdagangan, akan tetapi harta yang bukan harta yang dijadikan aset iaitu remaja yang telah berjaya dibangunkan.

Ketokohan Saidina Ali sebagai seorang khalifah sebenarnya telah diasah dan digilap semenjak dari kecilnya. Keberkatan hidup bersama Rasulullah saw dan dididik oleh Baginda sacara langsung telah berjaya membina keperibadian Saidina Ali yang sangat luar biasa. Apabila berada di tengah-tengah masyarakat, ramai yang tertawan hati. Bila berhadapan dengan musuh sangat digeruni.

Beliau adalah kanak-kanak pertama memasuki Islam. Bersaksi bahawa tiada Tuhan melainkan Allah swt dan nabi Muhammad saw adalah pesuruhNya di hadapan Baginda sendiri. Penyaksian dibuat apabila terkesan dengan akhlak Baginda ketika beribadat menyembah Allah swt.

Beliau bertanya kepada Rasulullah saw "wahai saudaraku, upacara apa yang telah engkau lakukan tadi?"
Baginda juga merupakan sepupu beliau.

Baginda menjawab "wahai Ali, aku sedang menyembah Allah swt, Tuhan yang menjadikan aku dan sekalian makhluk, marilah bersamaku mengesakan Tuhan yang sejati ini."

"Izinkan aku bertanya dengan ibu dan ayahku terlebih dahulu." Balas Saidina Ali.
Ketika ini umurnya baru berusia 10 tahun.

Keesokan harinya beliau bertemu kembali Rasulullah saw dan berkata "sedangkan Tuhan yang menjadikan kedua ibu bapaku tanpa berbincang terlebih dahulu dengan mereka, jadi apa perlunya aku berbincang dengan mereka sedang Allah swt itu adalah Tuhanku!"

Terperanjat Baginda mendengar jawapan yang dilontarkan oleh seorang budak yang masih kecil tetapi keberaniannya amat luar biasa. Sedangkan di saat itu kaumnya begitu fanatik dengan agama nenek moyang mereka. Menjadikan Latta dan Uzza sabagai tuhan. Pantang besar sesiapa yang berani menghina keyakinan dan keimanan yang dianggap suci ini.

Beliau juga dididik menjadi seorang ilmuan yang mempunyai ilmu mencakupi pelbagai bidang terutamanya ilmu agama, ilmu kehidupan dan peperangan.Selain itu, Saidina Ali sendiri memiliki kemahiran bercakap dan lantang bersuara.Ini sangat membantu beliau untuk berhujah dengan masyarakat arab yang sangat suka perdebatan.

Hauzah ilmiah: Sunni dan Syiah

Perkembangan hauzah-hauzah ilmiah bermula sejak awal zaman Islam lagi, iaitu ketika Rasulullah sallahua’laihi wa sallam, menghimpunkan sahabat baginda di Darul Arqam untuk mengajar kepada mereka tentang al-kitab dan hikmah. Kemudian majlis seumpama ini dipindahkan ke masjid, berkembangan suasana sekitar dan zaman selepasnya telah mengubah corak hauzah sedikit demi sedikit, setiap hauzah yang wujud mempunyai cara dan bentuknya tersendiri, ada yang dipanggil ribat atau pondok jika di nusantara kita.

Jolokan hauzah ilmiah diberikan bagi sebuah pusat ilmiah yang mengkhususkan kajian-kajian islam bagi mengkaji sudut pandang Islam dalam setiap bidang kehidupan mencakupi politik, ekonomi, pemikiran, sosial, kebudayaan dan lain-lain.

Hauzah Ilmiah adalah sebuah ekspresi “ibarat kata” yang sudah dikenali dikalangan ahli pusat kajian agama samaada oleh tokoh-tokoh Syiah di Kom dan Najaf, atau oleh ulama-ulama sunni kita di al-Azhar. Sejarah telah mencatatkan pusat-pusat pengajian besar yang dipimpin dengan gabungan ribuan ulama dan pendidik telah mengasuh dan membentuk pelajar-pelajar agama dari serata dunia, apabila kembali kenegara masing-masing mereka ini menjadi pendakwah yang menyebarkan pemahaman Islam dan ilmunya.

Pembentukan hauzah dan peranannya

Pembentukan hauzah ilmiah dan elemen asasnya ditentukan oleh dua faktor, pertamanya faktor kemanusian yang merangkumi kewujudan faqih, mujtahid, ulama dan pelajar, yang keduanya pula faktor sistem pengajian. Terbangunnya hauzah ilmiah pula adalah dengan beberapa peranan, bermula sebagai pusat pengajian ilmu-ilmu syariat sehingga kepada perkembangan medan kehidupan umum, umpama bidang politik, pemikiran dan sosial, namun hauzah hanya lebih dikenali berperanan sebagai pusat pengkajian dan penyampaian hukum.

Pembentukan garis-garis ijtihad yang diambil peranan oleh hauzah ilmiah adalah peranan terbesar dari peranan-peranan hauzah ini, ini berlaku dengan pengambilan manhaj, bersama eleman hauzah kemanusian bagi membentuk seorang insan mujtahid dalam ilmu Syariat, ketikamana sudah mencapai peringkat ijtihad yang positif (matang), segala masaalah autoriti (kelayakan) mengistinbat hukum syariat dapat diatasi dan seterusnya menyampaikan kepada umum.

Dan bagi yang tidak mampu mencapai peringkat mujtahid dalam hauzah ilmiah, mereka mempunyai tanggungjawab yang tidak kurang pentingnya daripada usaha mereka untuk mencapai peringkat ijtihad, peranan mereka adalah peranan menyampaikan melalui perantaraan nadwah dan pengajian atau menulis kitab dan menyebarkannya, semua ini dan seumpamanya adalah garis-garis penyampaian yang diambil oleh hauzah, mereka telah melaksanakan ini dalam tempoh waktu yang panjang dari sejarah hauzah samaada dipihak sunni atau syiah.

Hauzah antara Sunni dan Syiah

Kelahiran hauzah-hauzah Syiah seringkali dikaitkan dengan aktiviti-aktiviti yang diadakan sekitar maqam imam-imam mereka, mereka telah membangunkan hauzah disekitar maqam dengan beberapa sebab berbeza yang mendorong kearah itu. antara sebab utama ialah kewujudan penziarah yang berulang-alik, diantara faktor penting yang menyokong kewujudan dan penerusan hauzah mereka dizaman moden ini adalah faktor penyumbang kewangan, pelajar-pelajar dan guru-guru mereka menerima keperluan hidup yang mencukupi bagi membantu mereka untuk terus menumpukan kepada proses menuntut ilmu.

Diantara hauzah-hauzah ilmiah syiah yang paling masyhur adalah hauzah ilmiah yang berpusat dinajaf Iraq yang dibangunkan berhampiran maqam saidina Ali bin Abi Talib Radhiallahu anhu. kemudian hauzah ilmiah di Karbala, Samara juga di bandar Qom di Iran

Jika Syiah membangunkan hauzah-hauzah mereka, sunni juga memiliki hauzah-hauzah tersendiri, satu ketika dahulu kelahiran hauzah-hauzah ilmiah sunni banyak terdapat dimadinah berhampiran maqam penghulu kita nabi Muhammad sallalahu alaihi wasallam, terdapat juga hauzah seumpama ini di al-Azhar yang berhampiran dengan masjid saidina Hussein dan maqam saiydah Zainab yang masih terus bergerak sehingga kini, hauzah seumpamanya juga pernah disaksikan kewujudannya di Tasykan berhampiran maqam imam Bukhari.

Hauzah dalam penyebaran islam dan bahasa

Kepentingan bagi kewujudan hauzah timbul dalam tubuh ummah ini bermula jauh kedasar sejarah yang dikaitkan dengan perjalanan hauzah ilmiah sejak terpancarnya mentari risalah sehingga ke hari ini, dalam ruang geografi luas yang bertebaran dipermukaannya dengan hauzah-hauzah ilmiah telah menerangi sekitarnya dan menghilangkan gelap kelam kejahilan yang menyeliputinya. semua kesan peninggalan ini hanyalah dengan keberkatan yang dihasilkan oleh hauzah ilmiah dari ribuan ulama, fuqaha dan mujtahid, lebih-lebih lagi dengan sumbangan oleh pendakwah dalam sekala besar yang melalui periode-periode sejarah yang panjang dalam ruang yang luas dari bumi umat Islam bagi menyebarkan pengetahuan dan ilmu agama.

Hauzah ilmiah juga tidak ketinggalan dalam menyumbang penyebaran bahasa Arab dan mengarabkan bahasa umat Islam yang belajar di hauzah-hauzah tersebut dari bangsa cina, Turkey, Uzbek, Melayu dan lain-lain, sehingga apabila pelajar bukan Arab ini kembali ketanah air mereka lalu dikenali sebagai ahli nahu, sorof dan balaghah disamping sebagai seorang tokoh agama, tidak mampu disembunyikan lagi bahawa kepentingan hauzah ini adalah menyebarkan bahasa arab dan ilmu al-Quran, jika kita melihat setelah kembalinya mereka kenegara masing-masing, mereka akan merasakan keseronokan yang tidak sedikit setelah mereka memahami bahasa Arab, memahami buku-buku sejarah Islam dan Arab untuk disampaikan kepada anak bangsa.

Seumpama hauzah-hauzah ilmiah yang mempertahankan keaslian bahasa Arab dalam negara Arab, usaha ini telah dilaksanakan di Universiti al-Azhar bagi menangkis percampuran bahasa pasar dan Inggeris, Universiti al-zaituniah menjaga dari serangan bahasa Barbar, Francis dan Itali. Jika kita meletakkan setiap realiti ini disudut mata kita, kita akan memahami kepentingan hauzah ilmiah bagi mengankat martabat pemikiran, ilmu dan tamadun umat pada zaman kejahilan, kita juga akan mengetahui sejauh mana peranan bertindak yang dimainkan oleh hauzah ini bagin memelihara turas ilmu umat Islam.

Kita tidak melupakan kedapatan hauzah ilmiah di Fes, Qairawan, Zaituniah dan al-Azhar yang bangun dengan sebesar-besar peranan pemikiran dan ilmu bagi membentuk semangat umat untuk melawan kewujudan penjajah, memelihara bahasa Arab dan perkembangan ilmu syariat di negara-negara tersebut.

Saturday, April 14, 2007

Imam Ahmad bin Hanbal


Abd Allah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal dilahirkan di Baghdad pada tahun 164H/781M. Ayahnya seorang mujahid Islam dan meninggal dunia pada umur muda 30 tahun. Ahmad kemudiannya dibesarkan oleh ibunya Saifiyah binti Maimunah. Ahmad bin Hanbal menghafal Qur’an sejak kecil dan pada umurnya 16 tahun dia sudah menjadi penghafal hadis yang terkenal. Ahmad bin Hanbal meneruskan pengajian hadisnya dengan sekian ramai guru dan beliau pada akhir hayatnya dijangkakan telah menghafal lebih daripada sejuta hadis termasuk barisan perawinya.

Ahmad bin Hanbal menghafal al-Qur’an sejak kecil dan pada umurnya 16 tahun dia su-dah menjadi penghafal hadis yang terkenal.

Ahmad bin Hanbal menghafal al-Qur’an sejak kecil dan pada umurnya 16 tahun dia su-dah menjadi penghafal hadis yang terkenal.

Pada tahun 189H/805M Ahmad bin Hanbal berhijrah ke Basrah dan tidak lama kemudian ke Mekah dan Madinah untuk menuntut ilmu Di sana beliau sempat duduk berguru dengan al-Syafi‘e. Sebelum itu guru-gurunya yang masyhur ialah Abu Yusuf, Husain ibn Abi Hazim al-Washithi, ‘Umar ibn ‘Abd Allah ibn Khalid, ‘Abd al-Rahman ibn Mahdi dan Abu Bakar ibn ‘Iyasy. Pada tahun 198H Ahmad bin Hanbal ke Yaman pula untuk berguru dengan ‘Abd al-Razzaq ibn Humam, seorang ahli hadis yang besar ketika itu, terkenal dengan kitabnya yang berjudul al-Musannaf. Dalam perjalanannya ini Ahmad mula menulis hadis-hadis yang dihafalnya setelah sekian lama.

Ahmad bin Hanbal kembali semula ke Baghdad dan mula mengajar. Kehebatannya sebagai seorang ahli hadis dan pakar fiqh menarik perhatian orang ramai dan mereka mula mengerumuninya untuk belajar bersama. Antara anak muridnya yang kemudian berjaya menjadi tokoh hadis terkenal ialah al-Bukhari, Muslim dan Abu Daud. al-Qasim ibn Salam pernah berkata:

Ahmad bin Hanbal adalah orang yang paling ahli dalam bidang hukum dan aku tidak melihat ada orang yang lebih mengetahui tentang al-Sunnah selain dia. Dia tidak pernah bersenda gurau, dia selalu berdiam diri, tidak memperkatakan apa-apa selain ilmu.

Ahmad bin Hanbal pernah mengalami pengalaman hidup dalam penjara kerana kekerasannya menentang Mazhab Mu’tazilah yang diterima oleh pemerintah Abbasid ketika itu. Mereka (pemerintah) memaksa Ahmad mengesahkan mazhab baru tersebut. Ahmad enggan dan ini menyebabkan

beliau dirotan dalam penjara sehingga tidak sedarkan diri.

Ketegasan Ahmad dan tekanan daripada rang ramai akhirnya menyebabkan pihak pemerintah terpaksa membebaskan beliau. Ahmad kemudian meneruskan pengajarannya kepada orang ramai sehinggalah kematiannya pada tahun 241H/856M. Ahmad bin Hanbal meninggalkan kepada dunia Islam kitab hadisnya yang terkenal iaitu al-Musnad yang mengandungi lebih kurang 30,000 hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan atsar para sahabat radhiallahu ‘anhum. Dua orang anaknya yang utama meneruskan perjuangan ayah mereka, iaitu ‘Abd Allah bin Ahmad dan Salih bin Ahmad.

Demikian secara ringkas riwayat hidup para imam mazhab yang masyhur. Selain itu terdapat juga beberapa tokoh yang tidak kurang hebatnya yang hidup sezaman dengan mereka. Akan tetapi kerana beberapa sebab, mazhab para tokoh ini tidak bertahan lama atau tidak menjadi masyhur. Antara tokoh-tokoh yang dimaksudkan itu ialah

· Imam al-Awza‘e. Nama sebenar beliau ialah Abd al-Rahman ibn al-Awza‘e
Dilahirkan di kota Ba’labek, Syria pada tahun 89H/708M. Terkenal sebagai seorang tokoh hadis yang terkemuka pada zamannya. Antara prinsip ajaran fiqhnya ialah menjauhkan penggunaan kaedah qiyas apabila wujudnya dalil yang jelas dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Mazhab al-Awza‘e terkenal di Syria, Jordan, Palestin dan Lubnan sehinggalah ke kurun ke 10M apabila Mazhab al-Syafi‘e mula mempengaruhi penduduk di sana. al-Awza‘e meninggal dunia di Beirut pada tahun 157H/774M. Prinsip-prinsip ajaran beliau berkenaan penggunaan qiyas banyak tertulis di dalam kitab-kitab usul fiqh hingga ke hari ini.

· Imam Zaid adalah cucu kepada Ali bin Abi Talib melalui anaknya Hasan. Beliau di lahirkan di Madinah pada tahun 81H/700M dan menumpukan perhatian kepada ilmu al-Qur’an dan al-Sunnah. Beliau mengajar di beberapa bandar dan kota, antaranya Madinah, Basrah Kufah dan Wasit. Ajarannya masih diamalkan hingga kini di beberapa lokasi terpencil di Yaman.

· Imam al-Layts ibn Sa‘ad berketurunan Parsi, lahir di Mesir pada tahun 97H/716M. Beliau mempelajari jurusan-jurusan ilmu Islam daripada Abu Hanifah dan Malik bin Anas. Ketokohannya di Mesir sangat terserlah sehinggakan al-Syafi‘e juga berhijrah ke sana untuk duduk belajar bersama anak-anak muridnya. al-Layts meninggal dunia pada tahun 174H/791M dan ajaran-ajarannya tidak tersebar luas kerana beliau melarang anak muridnya menulisnya.

· Imam Sufyan al-Tsauri lahir di Kufah pada tahun 100H/719M dan merupakan salah orang ulama’ yang besar di sana di samping Abu Hanifah. Beliau berani menyuarakan ketidak-setujuannya terhadap beberapa prinsip pemerintahan Abbasid ketika itu yang tidak sehaluan dengan ajaran Islam. Sufyan al-Tsauri diburu oleh pihak pemerintah menyebabkan beliau banyak menghabiskan masa hidupnya mengajar dalam persembunyian hinggalah ke hari kematiannya pada tahun 160H/777M.

· Imam Dawud al-Zahiri lahir di Kufah pada tahun 236H/851M. Nama sebenarnya ialah Dawud bin ‘Ali. Beliau pernah berguru dengan al-Syafi‘e dan Ahmad bin Hanbal dalam ilmu hadis dan fiqh. Dawud bin ‘Ali berpegang kepada prinsipnya yang tersendiri iaitu hanya menerima nas al-Qur’an dan al-Sunnah dalam bentuknya yang zahir tanpa ditakwil atau diqiyaskan. Oleh itulah beliau terkenal sebagai al-Zahiri yang berasal dari perkataan ‘zahir’. Dawud bin ‘Ali meninggal dunia pada tahun 270H/883M dan mazhabnya banyak didokongi oleh tokoh ilmuan yang terkenal pada kurun ke 11M, iaitu Imam Ibn Hazm (456H/1064M).

· Imam al-Tabari atau nama sebenarnya Muhammad ibn Jarir ibn Yazid al-Tabari lahir di Tabaristan pada tahun 224H/839M. Beliau banyak merantau menuntut ilmu di seluruh semenanjung Arab sehingga ke Mesir. Beliau sempat mendalami ajaran-ajaran Abu Hanifah, Malik dan al-Syafi‘e. Sekembalinya ke tempat asalnya beliau mula mengajar kepada orang ramai. Antara hasil tulisannya yang terkenal ialah kitab tafsir berjudul Jami’ al-Bayan yang terkenal sehingga hari ini.

Imam al-Syafi‘e


Imam al-Syafi`e lahir di Gaza, Palestin pada tahun 150H/767M. Nama sebenarnya ialah Muhammad bin Idris al-Syafi‘e. Beliau mempunyai pertalian darah Quraish dan hidup tanpa sempat melihat ayahnya. Pada umur 10 tahun ibunya membawanya ke Mekah untuk ibadah Haji dan selepas itu beliau tetap berada di sana menuntut ilmu. Di Mekah al-Syafi‘e memulakan perguruannya kepada Muslim bin Khalid al-Zanji, mufti Kota Mekah ketika itu.

Suasana ini memberikan kelebihan yang penting bagi al-Syafi‘e, iaitu beliau berkesempatan untuk belajar dan membanding antara dua ajaran Islam, iaitu ajaran Malik bin Anas dan ajaran Abu Hanifah. Kitab ilmu yang paling terkemuka pada ketika itu ialah al-Muwattha' karangan Malik bin Anas dan al-Syafi‘e dalam usia mudanya 15 tahun telahpun menghafal keseluruhan kitab tersebut. al-Syafi‘e kemudiannya berhijrah ke Madinah untuk berguru dengan penulis kitab itu sendiri. Ketika itu al-Syafi‘e berumur 20 tahun dan beliau terus duduk bersama Malik sehinggalah kematiannya pada tahun 179H/796M. Ketokohan al-Syafi‘e sebagai murid terpintar Malik bin Anas mulai diiktiraf ramai. al-Syafi‘e mengambil alih sebentar kedudukan Malik bin Anas sebagai guru di Masjid Nabawi sehinggalah beliau ditawarkan kedudukan pejabat oleh Gabenor Yaman. Jawatan al-Syafi‘e di Yaman tidak lama kerana beliau telah difitnah sebagai pengikut Mazhab Syi‘ah. Selain itu pelbagai konspirasi lain dijatuhkan ke atasnya sehinggalah beliau dirantai dan dihantar ke penjara Bagdad, pusat pemerintahan Dinasti Abbasid ketika itu.

dibawa menghadap ke Khalifah Harun al-Rashid dan beliau berjaya membuktikan kebenaran dirinya. Kehandalan serta kecekapan al-Syafi‘e membela dirinya dengan pelbagai hujah agama menyebabkan Harun tertarik kepadanya. al-Syafi‘e dibebaskan dan dibiarkan bermastautin di Baghdad. Di sini al-Syafi‘e telah berkenalan dengan anak murid Abu Hanifah dan duduk berguru bersama mereka, terutamanya Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani. Suasana ini memberikan kelebihan yang penting bagi al-Syafi‘e, iaitu beliau berkesempatan untuk belajar dan membanding antara dua ajaran Islam ajaran Malik bin Anas dan ajaran Abu Hanifah.

Pada tahun 188H/804M, al-Syafi‘e berhijrah ke Mesir. Sebelum itu beliau singgah sebentar di Mekah dan di sana beliau diberi penghormatan dan dipelawa memberi kelas pengajian. al-Syafi‘e kini mula diiktiraf sebagai seorang imam dan beliau banyak meluahkan usaha untuk cuba menutup jurang perbezaan antara ajaran Malik bin Anas dan Abu Hanifah. Usahanya ini tidak disambut baik oleh penduduk Mekah kerana kebiasaan mereka kepada ajaran Malik.

Pada tahun 194H/810M, al-Syafi‘e kembali semula ke Baghdad dan beliau dipelawa untuk memgang jawatan qadi bagi Dinasti Abbasid. Beliau menolak dan hanya singgah selama 4 tahun di Baghdad. al-Syafi‘e kemudian kembali ke Mesir dan memusatkan ajarannya di sana. Daud bin Ali pernah ditanya akan kelebihan al-Syafi‘e berbanding tokoh-tokoh lain pada ketika itu, maka beliau menjawab:

al-Syafi‘e mempunyai beberapa keutamaan, berkumpul padanya apa yang tidak terkumpul pada orang lain. Dia seorang bangsawan, dia mempunyai agama dan i'tiqad yang benar, seorang yang sangat murah hati, mengetahui hadis sahih dan hadis daif, nasikh, mansukh, menghafal al-Qur'an dan Hadis, perjalanan hidup para Khulafa' al-Rashidun dan amat pandai mengarang.

Dalam usahanya untuk cuba menutup jurang perbezaan antara ajaran Malik bin Anas dan Abu Hanifah, al-Syafi‘e menghadapi banyak tentangan daripada pengikut-pengikut Mazhab Maliki yang taksub kepada guru mereka. Pada satu malam dalam perjalanan balik ke rumah dari kuliah Maghribnya di Mesir, al-Syafi‘e telah dipukul sehingga menyebabkan kematiannya. Pada ketika itu al-Syafi‘e juga sedang menghadapi penyakit buasir yang agak serius.

al-Syafi‘e meninggal dunia pada 29 Rejab tahun 204H/820M di Mesir. Beliau meninggalkan kepada dunia Islam sebuah kitab yang paling agung dalam bidang usul fiqh berjudul al-Risala. Kitab ini adalah yang terawal dalam menyatakan kaedah-kaedah mengeluarkan hukum dari pada sesebuah nas al-Qur’an dan al-Sunnah. Selain itu al-Syafi‘e juga meninggalkan kitab fiqhnya yang masyhur berjudul al-Umm. Ajaran al-Syafi‘e diteruskan oleh beberapa anak muridnya yang utama seperti Abu Yakub al-Buwayti (231H/846M), Rabi’ bin Sulaiman al-Marali (270H/884M) dan Abu Ibrahim bin Yahya al-Muzani (274H/888M).